Jumat, 08 Mei 2009

KORBAN TINDAK PIDANA NARKOBA

Saat ini peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial generasi muda sudah menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunanya merata di seluruh strata sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan, maka diperlukan pengaturan di bidang narkotika.
Narkoba adalah kepanjangan dari Narkotika dan Barang berbahaya lainnya. Selain narkotika yang digolongkan barang berbahaya adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. Narkotika dalam pengertian opium telah dikenal dan dipergunakan masyarakat Indo nesia khususnya wargaTionghoa dan sejumlah besar orang Jawa sejak tahun 1617.[1] Selanjutnya diketahui bahwa mulai tahun 1960-an terdapat sejumlah kecil kelompok penyalahguna heroin dan kokain. Pada awal 1970-an mulai muncul penyalahgunaan narkotika dengan cara menyuntik. Orang yang menyuntik disebut morfinis. Sepanjang tahun 1970-an sampai tahun 1990-an sebagian besar penyalahguna kemungkinan memakai kombinasi berbagai jenis narkoba (polydrug jser), dan pada tahun 1990-an heroin sangat populer dikalangan penyalahguna narkotika.
Berbicara tentang kejahatan, maka kita secara tidak langsung berbicara tentang korban dari kejahatan tersebut. Rumusan mendasar dari suatu kejahatan adalah adanya pelaku dan korban kejahatan. Menurut Arif Gosita (Arif Gosita, 1983: 76), kejahatan adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan yang saling mempengaruhi.
Berdasarkan definisi kejahatan yang diuraikan oleh Arif Gosita di atas, dapatlah kita ambil suatu kesimpulan, bahwa kejahatan merupakan hasil interaksi manusia. Para kriminolog sepakat, bahwa kejahatan merupakan produk dari masyarakat. Selama masyarakat masih mengadakan interaksi satu dengan yang lain selama itupula kejahatan akan tetap muncul. Ada korban, ada kejahatan dan sebaliknya, ada kejahatan ada korban. Rangkaian kata ini menyatakan, apabila terdapat korban kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan.
Kejahatan sebagaimana didefiniskan oleh Arif Gosita tersebut adalah kejahatan dalam arti luas. Kejahatan dalam arti luas tidak hanya yang dirumuskan dalam undang-undang, tetapi juga tindakan yang menimbulkan penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta dianggap jahat oleh masyarakat. Kejahatan dalam arti sempit adalah Mijsdriff atau crime yang merupakan bagian dari tindak pidana atau delict.
1. Sudut Pandang Hukum Positif
Berbicara tentang hukum positif, maka kita akan menuju kepada suatu norma atau ketentuan yang berlaku pada suatu waktu tertentu pada wilayah tertentu (ius constitutum). Di dalam hukum pidana Indonesia, KUHPidana sebagai hukum positif, yang menjadi hoeksteen atau poros di ujung adalah pasal 1 ayat 1 KUHPidana, asas legalitas. Inti dari pasal tersebut adalah hanya perbuatan yang disebut tegas oleh peraturan perundang-undangan sebagai kejahatan atau pelanggaran, dapat dikenai sanksi pidana (E. Utrecht, 1989: 388). Menurut hukum positif, suatu perbuatan dikatakan sebagai suatu perbuatan pidana atau tindak pidana jika perbuatan tersebut melawan hukum (melanggar undang-undang) dan terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku tindak pidana tersebut. Jika unsur melawan hukum dan unsur kesalahan tersebut telah terpenuhi, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan pelaku dapat dikenakan sanksi pidana. Kedudukan korban dalam kejahatan menurut hukum positif tidaklah mutlak, dalam artian korban bukanlah unsur terpenuhinya rumusan suatu kejahatan atau tindak pidana.
2. Sudut Pandang Sosiologis
Berbeda halnya dengan sudut pandang hukum positif yang menyatakan, bahwa kedudukan korban bukanlah unsur mutlak terjadinya kejahatan, pandangan sosiologis memiliki pandangan yang berbeda. Dalam pandangan sosiologis, korban memilki posisi yang cukup vital dalam hubungannya dengan kejahatan. Korban adalah salah satu tolok ukur dalam menentukan kejahatan. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai kejahatan kalo ada pihak yang dirugikan, dan pihak tersebut disebut dengan korban. Dalam sudut pandang sosiologis, sebuah perbuatan yang awalnya merupakan kejahatan bisa berubah menjadi bukan kejahatan, begitu juga sebaliknya. Proses berubahnya suatu perbuatan dari perbuatan biasa menjadi perbuatan pidana disebut kriminalisasi, sedangkan proses berubahnya perbuatan pidana menjadi perbuatan biasa disebut dekriminalisasi. Salah satu factor yang menyebabkan kriminalisasi atau dekriminalisasi adalah korban kejahatan. Ketika tidak terdapat korban kejahatan, suatu perbuatan yang awalnya merupakan tindak pidana bisa berubah menjadi tindak pidana, begitu juga sebaliknya.
Pada sub pembahasan di atas telah disinggung, bahwa kedudukan korban dalam kejahatan dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu, sudut pandang hukum positif dan sudut pandang sosiologis. Permasalahan kedua yang akan dibahas adalah mengenai kedudukan korban tindak pidana narkoba dalam perspektif viktimologis. Sebagai batasan pembahasan, tindak pidana narkoba yang dibahas disini adalah tindak pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 85 ayat (1) sampai (3) (penggunaan narkotika golongan I, II dan III bagi diri sendiri) Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan pasal 59 ayat (1) huruf a (penggunaan psikotropika golongan I) Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
Sejauh ini, dalam undang-undang narkoba, baik dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika maupun Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dalam pasal yang telah disebutkan di atas, tidak dicantumkan rumusan yang tegas tentang kedudukan pelaku dan korban. Walaupun dalam hukum positif dinyatakan secara tegas kedudukan korban bukanlah hal mutlak dalam suatu tindak pidana, namun dalam tindak pidana narkoba ini kedudukan korban tidak ditinjau dari segi mutlak atau tidaknya, melainkan seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut (pasal 85 Undang-undang Narkotika dan pasal 59 Undang-undang Psikotropika) disebut sebagai pelaku ataukah korban kejahatan narkoba. Hubungan antara pelaku dan korban kejahatan yang oleh Stephen Schafer dinyatakan sebagai teori criminal-victim relationship tidak tergambar secara nyata dalam tindak pidana narkoba ini.

Menjawab permasalahan tersebut, Sellin dan Wolfgang memberikan kualifikasi jenis-jenis korban kejahatan (Lilik Mulyadi, 2004: 115) sebagai berikut:
 Primary victimization adalah korban individual, jadi korban disini adalah korban perorangan bukan korban kolektiv atau kelompok;
 Secondary victimization, maksud dari korban dengan bentuk seperti ini adalah, korbannya badan hukum atau kelompok;
 Tertiary victimization yang menjadi korban adalah masyarakat luas, boleh juga dikatakan, bahwa korbannya abstrak dan tidak berhubungan langsung dengan kejahatan;
 Mutual victimization, yang menjadi korban adalah pelaku sendiri, korban tidak
menyadari bahwa dirinya adalah korban dari kejahatan yang dilakukannya sendiri;
 No victimization, istilah no victimization bukan berarti tidak ada korban.
Korban tetap ada akan tetapi tidak dapat segera diketahui keberadannya atau posisinya sebagai korban.

Berbeda dengan Sellin dan Wolfgang, Stephen Schafer memiliki criteria tersendiri dalam membagi korban kejahatan. Pembagian menurut Stephen Schafer adalah sebagai berikut:
 Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena potensial. Untuk itu dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban;
 Provocative victims, merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku bersama-sama;
 Participating victims, hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Pertanggung jawaban sepenuhnya berada di tangan pelaku;
 Biologically weak victims adalah kejahatan karena faktor fisik korban. Pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya;
 Socially weak victims adalah korban yang yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Pertanggungjawabannya terletak pada penjahat atau masyarakat;
 Self victimizating victims adalah korban yang dilakukan sendiri (korban semu).
Untuk itu pertanggung jawabannya terletak pada korban sepenuhnya karena sekaligus sebagai pelaku;
 Political victims, adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis,
korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali ada adanya perubahan konstelasi politik.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di Indonesia sebenarnya telah ada sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927). Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 26 Juli 1976. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September 1997.
Seperti ditegaskan dalam UU tentang Psikotropika bahwa kejahatan narkoba mulai dari pengguna, pengedar, bandar, dan produsen dijerat dengan ancaman hukuman yang berbeda. Dalam UU No 22/1997 tentang Psikotropika, bagi penguna narkoba golongan I (heroin, kokain, ganja) diancam hukum pidana 10 tahun penjara ditambah dengan denda. Disebutkan juga untuk golongan II (morfin, petidin, metadon) dihukum 7 tahun penjara dan denda. Selanjutnya pengedar diancam dengan hukuman lebih besar lagi, bahkan hukuman pidana mati, penjara seumur hidup, atau 20 tahun penjara plus denda terlebih lagi bagi yang mengedarkan barang haram golongan I.